Jumat, 15 Februari 2013

Monorail - alternatif mengurangi kemacetan

Monorail UTM-125 (Indonesia) vs Chongqing (China)


Tiang Monorel di Jakarta yang sudah lama tak terurus
Masalah kemacetan di Jakarta sudah sedemikian parah, semua pemimimpin di kota ini selalu dihadapkan pada masalah yang itu-itu saja. Berbagai cara dilakukan mulai pembuatan jalur khusus bus (busway) dan Bus Trans Jakarta / Trans Batavia, pengaturan rute kereta api, penambahan jalur tol, sampai yang terakhir ini pembangunan jalur monorail.
Proses pembangunan sudah mangkrak sekian lama akibat kurangnya ketersediaan modal dengan tiang-tiang yang tidak terurus, tingginya biaya operasi yang berujung prosentase subsidi tiket antara pemda DKI dan Pemerintah Pusat. Ya, pemerintah pusat. Sebagai pusat pemerintahan indonesia, masalah Jakarta menjadi masalah besar bagi pemerintah pusat. Aktifitas utama para pejabat pusat dilakukan di Jakarta dan mereka juga sudah gerah dengan kemacetan di kota ini. Banyaknya waktu yang terbuang di jalan bisa jadi mengurangi efektifitas kerja mereka.
Sebagai pembangun monorail di Jakarta telah ditunjuk PT Jakarta Monorail (JM), dan JM telah menggandeng Ortus Holdings, milik pengusaha Edward Soeryadjaya sebagai pemodal. Sangat disayangkan bahwa mereka lebih memilih kereta buatan Chongqing walaupun putra bangsa ini telah mampu membuat monorel dengan lebih dari 80% kandungan lokal.
Monorail UTM-125 buatan Indonesia
Monorail UTM-125 buatan Indonesia
Sekalipun belum diuji coba secara mendalam, menurut penulis perlu upaya untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri. Efek multiplier dari penggunaan teknologi sendiri tentu akan jauh lebih besar daripada sekedar impor peralatan dengan asumsi bahwa titik impasnya (Break Even Point / BEP) lebih cepat.
PT Melu Bangun Wiweka telah membuat prototype monorel yang diberi nama UTM-125, yang setiap gerbongnya mampu menampung 125-140 penumpang. Dengan setiap rangkaian membawa 5 gerbong, sekali angkut monorel ini dapat membawa 625 penumpang.
"Monorail UTM-125 memiliki daya motor penggerak 260 kilo watt atau setara 350 tenaga kuda. Dengan daya sebesar itu, kereta bisa melesat sekencang mobil Ford Focus buatan Amerika Serikat, menurut Kusnan Nuryadi pembuat kereta ini. "Namun untuk kecepatan normal di Jakarta sudah dihitung cukup dengan 60 hingga 80 km per jam dengan waktu tunggu dua menit pada jam sibuk dan 4 menit di jam normal," imbuh pakar Teknik Konstruksi dan Mesin dari Universitas Indonesia ini.
UTM-125 saat dikunjungi Jokowi dan Jusuf Kalla
Saat pengujian suara mesin pendorong terdengar sangat halus, laju kereta mulus walaupun sebagian kelengkapan belum terpasang.









Gambar Kereta Chongqing
Sementara untuk setiap gerbong kereta Chongqing mampu mengangkut 160 penumpang. Kereta ini menggunakan teknologi Hitachi (Jepang) dan dikembangkan kapasitasnya di China untuk mengangkut lebih banyak penumpang.
Pemakai Kereta Chongqing














Beberapa hal yang semestinya jadi pertimbangan sebelum memilih teknologi sendiri atau impor :
1. Teknologi buatan sendiri tentu lebih mudah di-customize sesuai tuntutan perubahan jaman.
2. Pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) lebih mudah dan murah karena dilakukan di negeri sendiri dan lebih sedikit permasalahan bahasa.
3. Standarisasi dan kontrol kualitas yang lebih mudah, karena teknologi sepenuhnya sudah dikuasai.
4. Pertanggungjawaban (accountability) dan aspek hukum, dengan pembuat (manufacturer), maintenance, dan operator di negeri sendiri akan lebih mudah menuntut siapa penanggung jawab jika terjadi masalah yang tidak diinginkan.
5. Lebih banyak tenaga kerja yang terserap, mulai dari perancangan, pembuatan suku cadang, perakitan, operasi dan pengawasan maupun fungsi lain yang mendukung operasional dan administrasi.
6. Harga barang yang akan digunakan. Bukan rahasia lagi kalau barang impor maka suku cadang juga impor. Sebagai contoh, suku cadang pesawat harus mendapat lisensi dari pabrik pembuat pesawat, yang ujung-ujungnya biaya akan dibebankan ke operator. Akan banyak biaya yang mungkin baru diketahui setelah monorel beroperasi yang justru akan menurunkan profitability perusahaan. Harga monorel ditekan minimum namun biaya maintenance akan membengkak. Selain tentu saja mesti diukur masa manfaat dari asset yang dibeli.
7. Aspek moneter, impor tentu saja akan mempengaruhi aspek moneter dan nilai tukar rupiah baik untuk pembelian monorel-nya  sendiri, suku cadang, konsultan, teknisi, dll.
Walaupun kemungkinan gagal diaplikasikan di Jakarta, mudah-mudahan dapat segera diaplikasikan di Makasar maupun daerah lain. Amin...