Selasa, 08 September 2015

Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan 2 opsi kereta cepat yakni CRH380A buatan China dan Shinkansen E5 buatan Jepang.

Dari detikfinance didapat informasi :
Masing-masing investasi kedua jenis kereta berbeda-beda, untuk CRH380A membutuhkan investasi US$ 5,585 miliar atau sekitar Rp 78 triliun (1 dolar = Rp 14.000), sedangkan untuk jenis Shinkansen E5 butuh US$ 6,223 miliar atau sekitar Rp 87 triliun.
Kecepatan Operasi Maksimal bisa mencapai 380 km/jam untuk CRH380A, sedangkan Shinkansen E5 mencapai 350 km/jam.

Kereta CRH380A didesain untuk rangkaian 8 gerbong, sedangkan Shinkansen E5 untuk 12 gerbong. Sehingga kapasitas CRH380 memang lebih sedikit yaitu 550-600 orang, dan Shinkansen E5 bisa angkut 925 orang.
Dari sisi kinerja kereta buatan China butuh waktu perawatan yang lama, dengan jarak operasional sampai 1,2 juta km. Sedangkan kereta Shinkansen unggul dalam penggunaan energi yang efisien.

Saya sendiri berpendapat bahwa pada akhirnya kedua kereta cepat ini tidak akan jadi digunakan mengingat :
- Batalnya pembangunan pelabuhan di Cilamaya
- Kemungkinan batalnya pembangunan bandara baru di karawang

Saya yakin tanpa kehadiran salah satu proyek itu maka secara ekonomi jalur ini tidak akan menjadi pilihan para traveller maupun pelaku bisnis, dikarenakan :
- sudah adanya jalan tol Cipularang yang menyingkat waktu perjalanan traveller atau pun bisnisman
- rencana penggunaan beberapa stasiun baik di Jakarta maupun Bandung akan menambah waktu tempuh dikarenakan waktu transit dan kereta akan sulit untuk mencapai kecepatan tertingginya dan kemungkinan perlunya waktu yang cukup untuk check-in.
- biaya investasi yang sangat tinggi dan akan sulit ditutup tanpa menggunakan APBN / APBD.
- fluktuasi USD saat ini.
- saat ini kereta api yang melayani rute ini pun semakin berkurang seiring berkurangnya penumpang.
- tanah sekitar Karawang adalah tanah produktif khususnya untuk suplai beras di Jawa bagian Barat termasuk DKI. Walaupun saat ini memang tanah di pertanian di wilayah ini sudah makin menyusut karena dikonversi menjadi lahan industri dan pergudangan. Letak geografisnya yang berada di antara pusat bisnis Jakarta dan industri tekstil Bandung dan dilalui tol Cipularang ikut mendongkrak pertumbuhan industri di kawasan ini. Efek domino dari industri ini mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan hunian baru yang makin mempersempit lahan pertanian.
- waktu tempuh beberapa titik di Jakarta ke stasiun terdekat bisa jadi hampir sama dengan waktu tempuh mobil ke Bandung dikarenakan kemacetan di Jakarta.

Bagaimana menurut pendapat anda ?
Secara pribadi jalur Jakarta - Karawang- Cirebon, bahkan mungkin sampai ke Semarang akan lebih menguntungkan dikarenakan jumlah penerbangan Jakarta - Semarang pun tidak terlalu padat dan dapat ditempuh dalam kurang dari 1 jam, yang mana kurang profitable untuk pesawat berbadan besar.
 
Di Jakarta sendiri, pemerintah justru ingin mengembangkan penggunaan monorail, selengkapnya bisa dibaca di sini.

Kamis, 13 Agustus 2015

e-AWB - Jawaban untuk Industri Kargo Udara Paperless

Air Waybill (AWB) atau Surat Muatan Udara (SMU) adalah kontrak pengangkutan udara yang paling penting antara 'pengirim' (forwarder) dan 'pembawa' (airline). Sementara e-AWB, adalah kontrak elektronik atas pengangkutan udara  yang merupakan alternatif untuk kontrak AWB tercetak dikertas. Kontrak elektronik pengangkutan dicapai melalui pertukaran data elektronik (EDI) pesan yang mengacu pada pertukaran dokumen bisnis dalam format standar bukan bentuk tradisional suart, kurir atau fax.
Industri kargo udara masih sangat bergantung pada dokumentasi kertas (Air Waybill) untuk pertukaran informasi bahkan dalam era elektronik hari ini.
Menurut IATA, setiap pengiriman internasional dapat memerlukan lebih dari 30 dokumen kertas yang berbeda. Alasan mengapa industri ini masih terpaku pada sistem lama cukup banyak: banyak dokumen angkutan tidak memiliki pesan standar, beberapa negara kunci masih mengandalkan dokumen fisik untuk bea cukai dan dalam banyak kasus tekanan keuangan membatasi kemampuan perusahaan untuk berinvestasi dalam infrastruktur Teknologi Informasi.
Dokumen kargo kritis
Menurut IATA, e-AWB bisa mendatangkan akurasi, kerahasiaan dan efisiensi. Industri ini berusaha untuk mencapai 100% e-AWB pada jalur perdagangan layak pada akhir 2018.
Mr. Joseph Notter, Operasi Wakil Presiden Saudia Cargo, mengatakan, "E-AWB berisi 80% dari data pengiriman untuk mengangkut pengiriman dari asal ke tujuan . Informasi ini diperlukan untuk menangani proses serta untuk bea cukai di banyak negara untuk menghitung kewajiban dan PPN dari pengiriman. "
Penyederhanaan prosedur angkutan udara
Mr. Jon Conway, DSVP, UEA Operasi Bandara, mengatakan, "Secara rata-rata, data AWB mengalami re-keyed delapan atau sembilan kali di seluruh siklus pengiriman. Kesalahan tidak bisa dihindari untuk terjadi dan kami membuang banyak waktu dan uang mengoreksi informasi yang tidak akurat. Hal ini telah mencapai titik dimana beberapa pihak berwenang pelanggan memberikan hukuman untuk data yang salah. Berbagi data elektronik membatasi peluang untuk kesalahan manusia dengan menghilangkan kebutuhan untuk re-keying. " Secara keseluruhan, e-AWB memiliki banyak keuntungan, yang secara efektif dapat merampingkan proses kargo dalam waktu dekat, karena:
• Pengurangan biaya - Penghapusan biaya pembelian AWB kertas , mengurangi biaya cetak AWB, mengurangi biaya pengarsipan.
• Tinggi produktivitas - Penghapusan keying data yang berulang, akses real time untuk deteksi kesalahan AWB sebelum mengirimkan barang fisik, tidak ada waktu tunggu untuk pengolahan kertas AWB di meja penerbangan .
• keandalan Tinggi - Tidak ada risiko kehilangan dokumen dan mengurangi jumlah kesalahan.
• kepatuhan peraturan - Disahkan oleh perjanjian internasional yang mengatur transportasi kargo udara; kontribusi terhadap persyaratan pelaporan yang canggih.
• Lebih sedikit stakeholder - ini adalah langkah pertama menuju intervensi e-freight.
E-AWB menyederhanakan setiap langkah dari proses angkutan udara dengan mengurangi kemungkinan kesalahan atau kehilangan dokumentasi dengan AWB kertas karena pengurangan proses, yang memungkinkan berbagi informasi tentang pengiriman dengan satu sentuhan tombol dan menghilangkan kebutuhan untuk tempat penyimpanan fisik dokumen. Pindah ke e-AWB juga akan mempercepat proses akseptasi, sehingga lebih efisien bagi pelanggan di setiap langkah dari siklus kargo udara.
Perubahan positif
Dikembangkan bersama oleh IATA dan pemegang saham industri, e-AWB membawa perubahan positif yang signifikan terhadap industri penerbangan. Hal ini memungkinkan maskapai penerbangan untuk beroperasi dengan menggunakan data digital, memungkinkan mereka untuk menyediakan lebih banyak transparansi dan visibilitas kepada pelanggan. Ini membantu maskapai penerbangan untuk merancang ulang proses mereka sehingga memberikan layanan pelanggan yang tinggi dan mapan.
Joseph Notter menunjukkan, "e-AWB menjawab peningkatan kebutuhan dari Regulator for Advanced Cargo Information. Program-program seperti ACAS dan PRECISE mulai berlaku, Data Elektronik adalah suatu KEHARUSAN. Kertas AWB tidak dapat memenuhi persyaratan program keamanan tersebut. Oleh karena itu, adopsi awal e-AWB sangat penting. Hal ini juga sangat penting untuk GHA karena mereka saat ini orang-orang secara manual memasukkan hampir semua data FWB / FHL ke dalam sistem. Ini memakan waktu, tidak efisien, rentan terhadap kesalahan dan kuno. Menerima data ini secara elektronik dari maskapai / agen menghilangkan fungsi ini , sehingga mengurangi kompleksitas dan biaya dalam bisnis. "
IATA memperkirakan industri akan menghemat US $ 4,9 miliar per tahun sekali e-AWB diadopsi di seluruh dunia.
Tantangan ke depan
Inisiatif e-AWB telah diterima dengan baik oleh masyarakat penerbangan dan freight forwarding, mengingat manfaat yang membawa bisnis ke arah yang baik secara internal maupun eksternal untuk klien mereka. Bagaimanapun tantangan terbesar bagi industri ini adalah menerapkan siklus pengerjaan sepenuhnya secara  elektronik untuk kargo udara. Sekedar e-AWB, mengubah proses seperti pemesanan, rating, faktur, pembayaran dan pelaporan ke versi elektronik akan memastikan bahwa kargo udara memberikan produk yang efisien bagi pelanggan End-to-End.

Kamis, 30 Juli 2015

Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak (drone) di ruang udara yang dilayani Indonesia

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor PM 90 tahun 2015 tentang Pengendalian pengoperasian pesawat udara tanpa awak di ruang udara yang dilayani Indonesia

Pengendalian Drone di Indonesia
Drone
Drone atau pesawat udara tanpa awak adalah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh penerbang (pilot) atau mampu mengendalikan dirinya sendiri dengan menggunakan hukum aerodinamika.
Sistem pesawat tanpa awak digunakan oleh seseorang, sekelompok orang (komunitas hobi), organisai atau instansi pemerintah. Sistem pesawat udara tanpa awak tidak boleh dioperasikan pada kawasan udara terlarang (prohibited area), kawasan udara terbatas (restricted area) dan kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) suatu bandar udara. Sistem pesawat udara tanpa awak tidak boleh dioperasikan pada ruang udara yang dilayani seperti Controlled airspace maupun uncontrolled airspace pada ketinggian lebih dari 500 kaki (150 meter).
Untuk tujuan khusus, ketinggian dapat lebih dari 500 kaki dengan izin dari Direktur Jenderal Perhubungan udara selambat-lambatnya 14 hari sebelum pelaksanaan pengoperasian sistem pesat udara tanpa awa.
Jika menggunakan kamera, sistem pesawat udara tanpa awak dilarang beroperasi 500 m dari batas terluar prohibited area maupun restricted area dan mendapat ijin dari Pemerintah Daerah tempat pemotretan.
Untuk tujuan pertanian, hanya diperbolehkan beroperasi pada areal pertanian/perkebunan yang dijelaskan dalam flight plan dan dalam radius 500 m dari batas terluar areal tersebut tidak ada pemukiman penduduk.

Jumat, 26 Juni 2015

IATA Standard Safety Assessment (ISSA)

IATA meluncurkan Standard Safety Assessment

International Air Transport Association (IATA) meluncurkan IATA Standard Safety Assessment (ISSA) untuk penerbangan yang tidak memenuhi persyaratan untuk IATA Operational Safety Audit (IOSA).
ISSA adalah program audit keselamatan sukarela, sejalan dengan praktek terbaik global dan diciptakan utamanya untuk maskapai yang mengoperasikan pesawat yang memiliki Maksimum Take-Off Weight (MTOW) dari lebih rendah 5.700 kg ( 12.566 lbs.) sebagai ambang batas untuk berpartisipasi dalam IOSA. ISSA juga merupakan alternatif untuk penerbangan, seperti beberapa perusahaan charter swasta yang model bisnisnya tidak memungkinkan sesuai dengan standar IOSA. Namun ISSA bukanlah pengganti IOSA yang tetap menjadi persyaratan untuk keanggotaan IATA.
Memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari Program IOSA, ISSA membantu operator penerbangan untuk mengkonfirmasi dengan standar keamanan global dan praktek terbaik. Memberikan mereka kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem pengendalian operasional dan manajemen yang ada. ISSA juga memperkenalkan unsur-unsur dari Sistem Manajemen Keselamatan (SMS). Selain itu, penilaian akan dilakukan oleh IOSA Accredited Audit Organizations.
Menurut IATA beberapa keuntungan yang bisa didapat oleh industri penerbangan yang mengikuti program ini, antara lain.
Standar keamanan global untuk operator komersial yang tidak tercakup oleh program IATA yang ada  Mengukur kesesuaian operator dengan persyaratan ICAO yang relevan
Implementasi secara bertahap unsur-unsur sistem manajemen keselamatan (SMS)
Hasil penilaian menjadi dasar kelayakan untuk masuk ke ISSA Registry
Peningkatan keuntungan di segi pemasaran dan komersial bagi operator
Perbaikan kondisi untuk pengurangan premi asuransi

Selasa, 07 April 2015

Kasus Pelabuhan Cilamaya: Suatu Pembelajaran

Prof. Dr. Ina Primiana, S.E., M.T. | Senior Advisor Supply Chain Indonesia

Rencana Pembangunan Pelabuhan Cilamaya akhirnya dibatalkan oleh Wakil Presiden. Pelabuhan tidak akan dibangun di Cilamaya, namun menjadi di sekitar wilayah Subang-Indramayu. Keputusan tersebut diambil setelah sekian lama terjadi silang pendapat antara Kementerian Perhubungan dan PT Pertamina (Persero) dengan  masing-masing memiliki argumentasi untuk meyakinkan bahwa pelabuhan Cilamaya layak atau tidak layak dibangun.

Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya kurang tepat karena di lokasi tersebut sejak tahun 1971 terbangun kekayaan negara milik PT Pertamina (Persero) sebagai penyedia  listrik dan gas yang didistribusikan ke beberapa lokasi. Pembangunan pelabuhan di Cilamaya akan merugikan BUMN tersebut sebesar US$ 12,3 milyar.

Selain itu, pembangunan Pelabuhan tersebut berpotensi mengganggu kawasan pertanian di Karawang sebagai lumbung pangan akibat terjadi alih fungsi lahan besar-besaran. Pembangunan Pelabuhan Cilamaya juga harus mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional karena tidak termasuk kawasan strategis nasional.

Kebutuhan akan pelabuhan saat ini sudah sangat mendesak, tetapi pemerintah kurang perhatian dan bergerak lamban dalam menyediakan pelabuhan untuk melayani kawasan industri khususnya di Jabodetabek dengan tingkat kemacetan yang parah menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok. Di satu sisi pemerintah mencari investor untuk berinvestasi di Indonesia, tetapi lupa menyediakan berbagai infrastruktur pendukungnya. Akibatnya beban logistik yang ditanggung industri menjadi tinggi. Idealnya suatu kawasan industri  didukung oleh berbagai infrastruktur yang memudahkan industri untuk mengangkut dan mendistribusikan produknya kemanapun dengan biaya murah.

Pelabuhan Tanjung Priok sudah overload, sehingga tidak dapat memberikan pelayanan secara cepat. Dwelling time (DT) di Pelabuhan itu sekitar 5-6 hari. Sebagai perbandingan, DT di Singapore 1,5 hari dan Malaysia 3 hari. Pengiriman barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok membutuhkan waktu lama akibat kemacetan yang parah dan antrian masuk pelabuhan yang panjang.

Penyelesaian Terminal Kalibaru tahap I masih 3 tahun lagi. Dengan demikian, penambahan pelabuhan adalah suatu keharusan, tetapi perlu ditetapkan lokasi yang tepat dan cepat pembangunannya agar segera dapat mengurai kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok.  Berdasarkan laporan World Economic Forum, infrastruktur pelabuhan Indonesia berada pada peringkat 77 dari 144 negara. Indonesia berada lebih baik dari Vietnam dan Philipina yang berada pada ranking  88 dan 101. Biaya logistik di Indonesia diperkirakan mencapai 25-30% dari PDB (World Bank) dan  paling mahal di antara negara-negara di Asia Pasifik yang tidak lebih dari 15% dari PDB. Biaya logistik yang mahal di Indonesia menyebabkan produk- produk dalam negeri sulit bersaing di pasar global.

Kinerja  logistik Indonesia juga tercermin dari Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index/LPI) yang dikeluarkan secara berkala oleh Bank Dunia. Pada tahun 2007 Indonesia berada pada peringkat 43 dan di tahun 2014 Indonesia berada pada peringkat ke 53 dari 160 negara.

Kendati telah mengalami perbaikan setiap tahun, kinerja logistik nasional masih terpaut jauh di bawah Negara ASEAN lainnya, seperti Singapura yang berada di posisi 5, Malaysia di posisi 25, Thailand peringkat 35, dan Vietnam di posisi 48. Dalam tiga tahun terakhir, LPI Indonesia berada pada urutan ke-6 di antara negara-negara ASEAN.

Dari enam indikator LPI, penurunan peringkat LPI Indonesia yang terbanyak adalah pada International Shipment, yaitu sebesar 30, dari peringkat 44 menjadi 74. Hal ini antara lain menunjukkan masih lemahnya kinerja pelabuhan.

Setelah Pelabuhan Cilamaya dibatalkan, dapat dipertimbangkan beberapa alternatif. Pertama, mempercepat pembangunan Pelabuhan Cirebon untuk melayani Industri di wilayah Jabar utara/timur. Hal yang menjadi pertimbangan adalah relokasi industri ke Kabupaten Majalengka, dibangunnya Bandara International Kertajati, dan tersedianya jalur kereta api, yang memungkinkan angkutan dengan inter moda. Pembangunan pelabuhan Cirebon akan mengurangi kepadatan di pelabuhan Tanjung Priok dan mengurangi kepadatan dan biaya pemeliharaan jalan pantura yang mencapai Rp 1,2 triliun/tahun.

Kedua, mengoptimalkan Cikarang Dry Port untuk mempercepat pelayanan di Tanjung Priok. Hal ini dilakukan sambil menunggu pembangunan dan pengoperasian Terminal Peti Kemas Kalibaru atau Tanjung Priok New Port.

Ketiga, membangun pelabuhan swasta di Subang atau Indramayu yang lebih efisien dan murah untuk berkompetisi dengan pelabuhan yang dikelola BUMN agar dapat memperbaiki kinerjanya.

Pengembangan dan pengoperasian Pelabuhan Cirebon berpotensi terhadap peningkatan kelancaran akses Pelabuhan Tanjung Priok ke/dari kawasan industri dan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga tidak perlu lagi dibangun pelabuhan di Jawa Barat untuk melayani industri di Provinsi itu.

Pembangunan pelabuhan bisa diarahkan ke 14 kawasan-industri khususnya di wilayah Indonesia Timur sekaligus mendukung Program Tol Laut. Hal ini untuk menghindari kejadian kasus Pelabuhan Cilamaya berulang kembali karena tidak tersedianya pelabuhan yang memadai untuk melayani industri.

Kasus Cilamaya menjadi pelajaran berharga, betapa mahalnya koordinasi. Untuk menghindari munculnya kasus yang serupa dengan Pelabuhan Cilamaya, perencanaan pembangunan pelabuhan harus dilakukan melalui koordinasi antara berbagai kementerian dan lembaga terkait. Hal ini juga harus dilakukan terhadap persoalan yang terkait dengan sektor-sektor strategis lainnya.

Kementerian merupakan bagian dari pemerintah, sehingga harus satu suara, tidak berbeda pandangan dan pendapat. Alangkah tidak baiknya di mata investor ketika dalam kalangan internal pemerintah terjadi perbedaan pandangan dalam suatu persoalan.

Dalam pemilihan lokasi pelabuhan berikutnya harus mempertimbangkan RTRW agar tidak terjadi alih fungsi lahan ataupun mengganggu sektor strategis lainnya.

Pemerintah harus segera mengambil keputusan terhadap hal-hal strategis, termasuk dalam penentuan pembangunan infrastruktur logistik. Hal ini agar beban logistik industri tidak terus meningkat yang berdampak terhadap daya saing produk dan komoditas Indonesia.

dari : supplychainindonesia.com

Rabu, 01 April 2015

Subsidi BBM, Organda Aptrindo Bersilang Pendapat

Dikutip dari situs aptrindo.com
JAKARTA- Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia bersilang pendapat dengan Organisasi Angkutan Darat terkait dinaikkan atau tidak tarif BBM bersubsidi untuk angkutan umum.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) merupakan organisasi baru yang didirkan para pengusaha angkutan barang. Sebelumnya, mereka tergabung dalam Organda yang beranggotakan pengusaha angkutan barang maupun penumpang.
Salah seorang perintis Aptrindo, Kyatmaja Lookman Djaja mengatakan terkait kebijakan penaikan tarif BBM bersubsidi, pihaknya berbeda pendapat dengan Organda, karena pihaknya menginginkan pemerintah perlu segera menaikkan tarif BBM bersubsidi.
Menurutnya, bidang transportasi umum khususnya angkutan barang, kenaikan tarif pelayanan sangat dipengaruhi oleh tarif BBM bersubsidi. Selama ini, karena harga jual BBM bersubsidi tidak dinaikkan.
“Padahal tarif tol naik, harga layanan angkutan barang tidak naik. Tarif penyeberangan naik, biaya kuli naik, harga truk naik, harga angkutan barang tidak naik,” ujarnya, Minggu (5/10).
Karena itulah, dia meyakini jika tarif BBM dinaikkan, harga jasa layanan angkutan barang bisa dikerek oleh para pengusaha angkutan barang. Dia meyakini jika tarif BBM naik sekitar 30%, tidak akan memberikan dampak berkepanjang bagi masyarakat.
“Tidak bisa dipungkiri kalau subsidi BBM itu membebani keuangan negara. Harusnya, jika ingin minta subsidi ke pemerintah, bisa dalam bentuk lain, tidak harus subsidi BBM,” ucapnya.
Subsidi dalam bentuk lain tersebut, lanjutnya, bisa berupa pengurangan tarif bea masuk komponen dan suku cadang kendaraan yang mayoritas masih harus diimpor karena belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Sebelumnya, DPP Organda menolak kenaikan harga BBM bersubsidi untuk angkutan umum penumpang dan barang selain meminta pemerintah pusat dan daerah menindak tegas kendaraan dengan muatan melebihi batas atau over loading.
Ketua DPP Organda Eka Sari Lorena Soerbakti mengatakan kenaikan BBM bersubsidi bagi angkutan umum, baik barang maupun penumpang bakal menambah biaya operasional kendaraan.
“Saat ini saja, BBM belum dinaikkan, tingkat keterisian penumpang atau barang pada setiap angkutan umum rata-rata mencapai 45% sampai 50%. Apalagi kalau BBM bersubsidi untuk angkutan umum dinaikkan, dan tarif juga turut naik, dipastikan daya beli penumpang akan makin menurun,” jelasnya.
Menurutnya, sebaiknya pemerintah memprioritaskan BBM bersubsidi bagi angkutan umum karena moda transportasi berbasis jalan ini masih dibutuhkan oleh masyarakat luas dibandingkan moda transportasi kendaraan pribadi yang menyedot lebih banyak subsidi BBM.
Mekanisme pemberian subsidi BBM bagi angkutan umum barang dan penumpang, menurutnya, bisa dilakukan dengan cara pemerintah menetapkan stasiun pengisian khusus bagi angkutan plat kuning sehingga tidak bisa diakses oleh angkutan plat hitam.
Hal ini, lanjutnya, diperparah dengan kenaikan komponen dan suku cadang serta harga kendaraan yang mencapai 10% hingga 15% karena mayoritas spare part untuk kendaraan bertipe besar harus diimpor lantaran belum bisa diproduksi di dalam negeri.
:Kalau kendaraan jenis kecil, sebagian besar suku cadangnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Tapi bagi bus atau truk berukuran besar, mau tidak mau harus diimpor dan sampai saat ini belum ada kebijakan stimulus fiskal untuk itu,” jelasnya.

Penggunaan Drone di Uni Emirat Arab

Uni Emirat Arab menjadi salah satu negara yang pertama kali mengatur penggunaan Drone.
Pengaturan pemakaian drone
Drone
Uni Emirat Arab (UEA) akan menjadi salah satu negara pertama yang mengatur kendaraan udara tak berawak - Termasuk drone untuk hiburan, menurut  salah satu Direktur Direktorat General Otoritas Penerbangan Sipil  Aviation Umum.
Menurut Mohammad Faisal Al Dossari, Director, Aviation Safety Affairs, Air Navigation & Aerodrome, UAE GCAA, otoritas akan maju dengan langkah pertamanya adalah konsultasi dengan segenap pemangku kepentingan yang akan segera dimulai.
"Tantangan kita yang pertama adalah untuk mengatur sisi komersial baru kemudian sisi hiburan,  apakah seseorang bertindak sebagai klub ataupun pengguna pribadi yang melihat drone sebagai mainan.
Tahun lalu UEA mengumumkan rencana untuk meluncurkan fly-by courier  yang menggunakan eyeball- scanning kendaraan udara tak berawak untuk drop-off dokumen pemerintah. "Kami ingin mencapai orang-orang, sebelum mereka mencapai diri kita. Kami ingin menghemat waktu, untuk mempersingkat jarak, untuk meningkatkan efektivitas dan untuk membuat layanan lebih mudah, "kata HH Sheikh Mohammed Bin Rashid Al Maktoum, Wakil Presiden dan Perdana Menteri UAE dan Penguasa Dubai.


Angkutan Tanjung Priok: Pengusaha Truk akan Naikkan Tarif 5%

Tanjung Priok
Pengusaha angkutan barang dan peti kemas dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok bakal menaikkan tarif rata-rata 5% mulai akhir pekan ini menyusul kenaikan harga BBM jenis Solar dari sebelumnya Rp6.400 per liter menjadi Rp6.900 per liter.

Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) DKI Jakarta Mustajab Susilo Basuki mengatakan pihaknya akan mensosialisasikan rencana penaikan tarif angkutan barang dari dan ke Tanjung Priok ke pengguna jasa di pelabuhan.
“Sudah kami hitung di internal Aptrindo, rencana tarif angkut dari dan ke Priok disesuaikan 5% dari sebelumnya,” ujarnya di sela-sela sosialisasi Sistem Informasi Angkutan Barang (SIAB) di kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, Selasa (31/3).

SIAB merupakan sistem berbasis TI yang terintegrasi dengan kegiatan jasa kepelabuhanan, dan memuat data perusahaan truk seluruh Indonesia.
 Mustajab menegaskan rencana penyesuaian tarif angkutan barang dan peti kemas menggunakan truk di Tanjung Priok untuk menyesuaikan pengeluaran operasional yang berasal dari BBM.

Sumber dan berita selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak 1 April 2015