Rabu, 23 Januari 2013

Penggunaan ATP untuk mengurangi resiko kecelakaan kereta api

Uji coba teknologi Automatic Train Protection (ATP)

Kecelakaan kereta api sering kali menimbulkan kerugian harta, cedera, bahkan hilangnya nyawa yang tidak sedikit. Sementara faktor manusia selalu dituduh sebagai penyebab utama. Kelalaian, faktor fisik dan sebagainya adalah manusiawi namun bagaimana caranya untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya kecelakaan adalah tugas dari berbagai pihak, baik pemerintah, manajemen KAI, masinis, penjaga pos / stasiun kereta, karyawan KAI yang lain, maupun masyarakat sekitar rel dan pengguna kereta api.
Tubrukan kereta dengan kereta maupun kereta anjlok masih terjadi dari tahun ke tahun, yang disinyalir akibat kelalaian masinis dalam bentuk pelanggaran sinyal maupun batas kecepatan.
Walaupun belum semua fungsi diujicobakan dan masih akan dilakukan ujicoba berikutnya namun ujicoba Automatic Train Protection (ATP) yang dilakukan Direkrorat Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian 22 Januari 2013 kemarin diharapkan menjadi langkah maju untuk perbaikan manajemen keselamatan kereta api.
Uji coba dilakukan di rel antara Solo - Yogya, menjelang stasiun Delanggu, Klaten dan Lempuyang. Walaupun berhasil baik namun belum diujicobakan pada kecepatan kereta normal yang mencapai 80 km/jam.
ATP adalah perangkat keselamatan yang fungsi dasarnya melakukan pengereman dan pengaturan kecepatan kereta berdasarkan informasi kompatible dari sinyal atau batas kecepatan yang diizinkan. Informasi tersebut dikirim dari jalur kereta ke sarana/lokomotif dengan cara kopling medan magnet resonansi saat loco balise melewati track balise. Informasi dari jalur tersebut mengaktifkan proses kendali prosedur masinis saat mengendarai kereta/lokomotif. Jika dibutuhkan sistem ATP akan melakukan pengereman demi meningkatkan nilai keselamatan perjalanan kereta bila masinis kurang memperhatikan sinyal atau tidak menurunkan kecepatan pada lintasan yang ada pembatasan kecepatan atau pada jalur lengkung.
Fungsi ATP mirip dengan Automatic Train Stop (ATS), namun ATS lebih terfokus pada fungsi pengereman saja yaitu langsung melakukan emergency break pada titik tertentu bukan pengendalian kecepatan.
ATP merupakan pengembangan yang memiliki kelebihan seperti : dapat dibuat secara online monitoring, menggunakan recorder, reliability, independent, kompatibel, failsafe, dan ada tahapan gradasi pengereman.



Selasa, 22 Januari 2013

Pilot Asing, lebih baik kah ?

Surat Dirjen Perhubungan Udara Nomor AU.403/1/1/DJPU.DKUPPU/2013 tanggal 10 Januari tentang Penggunaan Pilot Asing

Saat ini Indonesia baru memiliki tujuh sekolah penerbang dengan tingkat produksi total rata-rata per tahun sebanyak antara 100-120 pilot. Sementara jumlah tenaga penerbang yang dibutuhkan oleh industri penerbangan nasional mencapai antara 400-500 orang per tahun.
”Konsekuensinya, penambahan armada tersebut secara otomatis menuntut dukungan sumber daya manusia, terutama pilot untuk dapat mengoperasikannya. Tetapi dalam situasi sekarang ada kesenjangan antara jumlah armada dengan ketersediaan tenagapilot nasional,” ujar Herry Bakti yang menjabat Dirjen Perhubungan Udara, saat memberikan sambutan pada acara Wisuda Angkatan Pertama Bali International Flying School (BIFA) sekaligus penyerahterimaan lulusan perdana BIFA kepada PT Garuda Indonesia, di Jakarta, Sabtu (06/03/2010).
Atas dasar itu Ditjen Perhubungan Udara saat ini masih menyetujui penempatan pilot asing oleh maskapai penerbangan nasional, meski mereka tidak berkualifikasi kapten maupun instruktur. ”Namun dalam jangka panjang kita berharap bahwa potensi nasional yang ada bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung kegiatan industri penerbangan kita", tambahnya.
Namun sesuai Surat Dirjen Perhubungan Udara Nomor AU.403/1/1/DJPU.DKUPPU/2013 tanggal 10 Januari  2013 tentang Penggunaan Pilot Asing maka berlaku ketentuan baru tentang penggunaan tenaga pilot asing.
Pilot asing harus memiliki pengalaman terbang pada tipe pesawat yang diterbangkan, khususnya pada operator penerbangan 121 dan 135, untuk itu, Kementerian Perhubungan dalam hal ini Ditjen Perhubungan Udara mewajibkan pilot asing yang akan menggunakan lisensi Indonesia atau akan memvalidasi lisensi-nya harus memiliki pengalaman minimal 250 jam terbang pada tipe pesawat yang akan diterbangkan.
Kepada Operator Penerbangan yang akan mempekerjakan pilot asing harus memenuhi seluruh persyaratan termasuk persyaratan pengalaman minimal jam terbang saat pengajuan pilot asing untuk validasi atau endorsement ke Ditjen Perhubungan.
Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan keselamatan penerbangan, khususnya guna mencegah  terjadinya sejumlah insiden dan insiden serius pesawat udara yang melibatkan pilot asing.
Saat ini diperkirakan sekitar 600 pilot asing yang bekerja di maskapai penerbangan nasional seperti PT. Garuda Indonesia & Citilink, Lion Air & Wing Air maupun Sriwijaya Air.